Rabu, 19 April 2017

LELAH MENGADU 
Kepada siapa aku mengadu..
Melihatmu merampas lembaran hidup, katamu..
Melihatmu menenteng koper bertuliskan penguasa
Perih tak menentu di hati ini
Padahal langit kita sama..

Tak ada yang lebih hebat dan kuat
Tapi..kekuasaan menjadi senjata ampuhmu!
Sangar bengismu tak lebih dari sebuah pancingan
Yang bertahta atas dukungan palsu….
Murkamu menandingi skenario Pilatus!
Air tangannya kau simpan, bahwa kau ikut munafik..
Entah dunia sudah lelah menegurmu
Kau tetap saja jatuh…


Aku Mohon

Memanggil namamu
Tak kudengar suaramu
Lembayung nafas cintamu
Tak terpatri dalam jiwaku
Mengalun sendu pilu
Meneriaki dengan pelan: ya sudahlah…

Tinta kesabaranku telah habis
Tak berbekas dalam lembaran asa
Terurai menorah duka
Usangnya jiwaku turut mendukung

Pun telaga harapan jadi kering
Ditimba emosi egoisme
Nadir terbang dibawa angin
Tak kuasa aku menahannnya
Tak kuat aku mengenggamnya
(sembari hati memohon)


Sempat Berlari

Berlari…
Mengangkat muka menatap asa
Menyernitkan dahi tanda tak siap
Tegang berusaha tergaris sudah
Mengucuri wajah elok
Dalam sebuah harapan

Berlari….
Tapak-tapak tak berbentuk cepat
Menyisahkan naluri bertahan
Tegar kuat mendaki
Saat tak mampu lagi

Berlari…
Kian beringas mencari takdir
Untaian nafsu bertaburan
Menginjak…mengisi pelan penuh tanya
Inikah arti hidup??
Dimakan gelora nafsu yang kian kilat


Rasa Tidur

Terus merayu mata yang sudah lemah
Yang menutup kelopak
Seiring berpindah alam
Meretas bangkit dan bangun

Membakar kemelut hati
Bertahan namun tak sanngup
Terjerat godaannya yang selalu membelai
Membawa jiwa ke alam sana


Untuk Tetap Hidup

Mengejar tujuan jauh disana…
Menunggu kami tetap tiba dan sampai
Beragam jiwa melantunkan nada
Gembira bahwa kami pun bisa

Bentara hidup kian terasa
Mengalun begitu cepat yang merekah
Pun membahana dalam syair ria
Melawan nikmat yang hanya sesaat ada

Inilah kami..tetap berdiri di dalam
Bersembunyi namun tetap dihormati
Terlepas dan dicintai dunia!



Duka di Ufuk Senja

Terkenang pada masa lampau
Hidup yang tampak galau
Yang sempat layu
Dosa insan yang bau
Kau didera tuk menghalau
Palang hina tempatmu…

Arek-arek itu mengelilingi-Nya
Menuntun berdandankan kebejatan
Kelaliman mengitarinya dengan mesra
Saat dunia ingin menangis peluh
Teriring kembang flamboyan pun gugur
Derai mata yang tak malu datang
Menatap tubuh rapuh dibalut selempengan kotoran
Melepuh di sekujur tubuh
Terpampang kisah penuh pilu
Tragis memang…
Melalang duka kian kuat
Pun mulut tak berhenti berucap
Salibkan Dia… Salibkan Dia!!
Mengantar amukan dunia yang penuh makian

Kerikil tajam menjadi saksi tanya
Cadas pun ikut bergeming
Tak perlu hidup yang baik
Raja siang tak lagi kuat bersinar
Ingin menyembah-Nya pula
Dihadapan singgasana duka

Golgota…
Ronamu berbekas merah kemilauan
Bercampur dengan debu mengepul
Meletup meracik nada emosi
Berbekas pada tapak-tapak bengis
Melantunkan pada puncak nyanyian dosa
Memeluk tubuh bersimbah darah mendidih
Mengelas niat yang tak luntur
Yang menjerit atas kelaliman penguasa
Tertetak pada bulu paku yang enggan bercerita

Bilur pun mulai merengek
Menuntut perak itu
Naif tirai kepalsuan yang terbuka…
Serak suara menggoda tawa..
Membingkis cemoohan..
Terpekur dalam ketakberdayaan

Saat awan kumulus mengawal pergi
Lolongan bertaubat benci pun bersahut-sahut
Saat raga lemah tak kuat melawan
Saat perih mulai menangis
Dengan hati tersayat teriris
Pada jiwa yang berlagak sadis
Bermuka iblis…
Riuh pun tak mau menepi
Pada tempat yang sepi
Muslihat datang menanti
Untuk sebuah kematian suri
Meski sang waktu tak mau berhenti
Yang terurai pada bayang semu..

Bergurau pada cinta lama yang pernah pudar
Bertahan dalam kubangan olokan
Dijarah oleh maut
Terekam jejak pahit yang tak mau hilang
Basi menghimpit bumi
Menelanjang rupa-Mu
Melucuti cinta-Mu
Didekap perak berumur muda
Bukan sekedar mengemis cinta
Bukan menggenggam mawar pada seutas harapan
Yang enggan bertanya ..
Cinta yang bersemi, bermekaran
Menetas kesejukan berirama kasih
Mengisi kekeringan dengan air suka
Mengalun syahdu…
Tuk tebus yang tak tahu diri…
Cinta tak seperti embun yang melekat pada dinding jendela
Yang menguap terkena bias mentari
Palang hina tertancap sudah
Menjulang nyata atas bukit kala
Memberi aura simfoni pada pelupuk senja
Seraya merekah pada Kuasa-Nya…
Terbingkai dalam memori CINTA
Camkanlah…Ingatlah…Tentang AKU!



Dia Ada

Tuhan…
Sudikah engkau mengecup keningku
Saat aku masih punya setitik keringat
Biar kutahu Engkau masih mencintaiku…



Debu yang Berbicara

Dari debu yang melekat ini..
Sudah kotor tubuhku…menjijikkan!
Meramu senyum benci yang ikut tertawa
Mencampakkan raga layu ini

Dari debu yang melekat ini…
Yang kau taburkan dengan mesra
Mengatakan aku layak mati
Yang kau berikan dengan cuma-cuma
Meski aku menolaknya

Dari debu yang melekat ini…
Mengawali terakan hidup
Menemani lolongan yang merayap jauh
Mengintip diriku yang berharap kaku
Jangan memangsaku lagi!!

Dari debu yang melekat ini..
Melihatmu puas ratapanku kini
Ranyum membusuk hatimu yang kulihat
Akhiri hidupku saja!!


Kalah

Tuhan…
Ada titipan harapan dari hati berduka
Lelah mengemis di tepi cemoohan jurang itu
Mengapa senyummu Kau lekatkan pada bibir mereka
Sakit terasa melihat-Mu kini
Beri kami hidup!


Sumpah Sejati

Kami butuh sumpah…
Berlari mengejar mimpi yang lalu ada
Tak usang merekam jejak indah
Atas nama sumpah yang tertatih
Entah kapan terpenuhi nanti
Tolonglah jiwa-jiwa yang meratap
Butuh sumpahmu!

Kami tak butuh sampah…
Berserakan karena dosamu kaku
Muak karena nyaring suaramu
Tertidur bau yang segera bangkit
Pada tetesan darah yang menangis
Tanya pada dirimu kini

Candamu hanya dosa berdentang
Memangggil ‘tuk masuk nerak
Tak takut panas, katamu dulu
Karena sampahmu mudah terbakar
Hingga menjadi abu yang melayang
Kau katakan sumpah pada dunia
Berdiri menggendongnya, tak sulit bagimu…
Saat kalah kau buang!

Ingat, kami butuh sumpah
Yang takkan menjadi sampah!


Agama Kita

Mengapa harus ada kekerasan…
Tak ada niat tuk bersatu
Mungkin karena diri yang kaku
Selalu tak pasti menunggu waktu
Yang tak ingin masuk pada pintu
Janganlah selalu risau
Apalagi memegang pisau!!
Karena akan membekas bau
Tak seperti orang rantau
Yang membela agamamu

Harus dibalas dengan damai
Agar tampak hidup santai
Kamu yang mengajarkan mencintai
Meski lawan selalu mengintai
Yang merobek kasih teruntai

Memang terasa pedas
Saat semuanya was-was
Tak muncul yang ganas
Pun hati jangan ikut panas

Kita hidup untuk bersatu dalam damai
Jangan ada risau untuk silau
Mengapa harus ada kekerasan?
Katamu…kamu adalah agama
“Aku penjaga manusia”!!!
08/10/12


Melawan Dia


Mana keadilan…
Diri dirajam dengan murah
Tak ada untung..tak adil, begitu katanya
Mana nasehatmu..hanya sebatas gumaman?

Mengapa harus ada dia…
Dia yang selalu melawan adamu…
Kata mereka kamu baik
Aneh..atau karena sudah capeh, mungkin
Yang mereka kenal, tak ada lelah ragamu
Tentu angkuh bukan ajaranmu
Lalu.. Mengapa harus ada dia?

Mungkin bulan malu-malu datang
Karena engkau lebih memilih cahaya surya..
Yang kadang baik, kadang tak baik..
Seakan hidup terasa ganas..
Dibalut kata yang semakin panas..
Kekerasan..itulah dia.. Agama yang keras

Inikah pertanda hilangmu
Terombang oleh kemunafikan
Berharap cinta tak lekas usai
Yang tak berlari dari hadapanmu
Karena kita semua tetap berdiri..
Melawannya!
02/10/12

Retak

Yang sudah retak
Mudah untuk hancur
Hanya membentuk kepingan
Tanpa tajam!

Tak semuanya indah
Pada angan dibawanya kabur
Seolah sudah lelah
Belalah hak adanya!

Kapan ada kebaikan?
Yang selalu diajari
Meski tak pernah diikuti
Sudah salah jalan
Kata mereka..ini aneh
Rapuh sudah membentang
Ingin sendu pada menang
Tak ada sunyi
Berharap tak ada lagi hari esok…
11/10/12

Dosa Kemarin

Pada senja yang mengemis kemarin
Kutukan yang mungkin akan terjadi
Pada diri berdosa…mungkin sudah salah jalan
Darah bergeming karena ingin bebas
Enggan memencar karena malu

Sudah salah jalan pada mereka
Salah arah tak pasti
Hampa tertancap pada jalan ini
Kata mereka: engkau sudah tak layak lagi

Sekarang..
Di saat pagi mulai beranjak pelan
Masih ada bekas dosa kemarin
Yang urung pergi secepatnya
Karena ia akan terus melekat
Seraya menaruh benci bila ditinggal pergi
Inikah pengorbanan yang sudah salah jalan??


Cangkir Kasih

Seperti cangkir…
Menampung manisnya suka hidup
Meski tertutup pahitnya sedih
Ada pegangan pada raga lemah
Bahwa takkan ada kata jatuh
Mungkin sudah retak bagimu
Yang kala melukaimu
Tapi…
Kita bersaudara… Turut merasakan keduanya!

Seperti cangkir…
Saat tak berisi asa
Dibuang layak tak tentu
Mengukir cerita lama yang sudah usang
Kita tak pantas bersuara seperti ini

Seperti cangkir…
Mudah retak karena sudah tak mampu berbuat
Pun muak tuk melanjutkannya.. Ia sakit terjatuh
Tapi tak ada kisah itu buat kita kini…

Kasih…
Kujadikan cangkir ini sebagai kisah kita
Tanda semuanya belum usai…
Ia masih ada diantara kita

Bagiku..cangkir ini adalah hidupku
Karena engkau selalu ada bagiku…
Cangkir, untukmu kami selalu berharap!
9/10/12

Aku dan Dia
Saat aku tak punya, Dia selalu memberiku yang terbaik
Saat aku jatuh, kutahu Dia yang menggendongku
Saat aku tertawa puas, “nanti kuambil”, katanya
Saat aku sedih, “nanti dulu”, menyadarkanku
Saat aku letih, “ini, seteguk air cukup untukmu”
Tetapi…
Saat aku lemah,”dimanakah Engkau?”
Saat aku sedih, “cepat tolonglah aku!!”
Saat aku tertawa puas,”ini yang kuharapkan”
Saat aku jatuh,”mengapa harus diriku”
Saat aku tak punya,”mengapa bukan mereka”
Dalam hati, kusujud,”maafkan aku Tuhan”.
25/09/12

Pilu

Langkah menatap pilu
Mengalun merangkai sendu
Kabut pekat menyelimuti
Sembari memohon peluh
Utopia dibawa pergi
Direbut mimpi sejumput…
02/03/11


Tentang Harapan

Mimpi malu-malu pergi
Tak sanggup menggoda lagi
Meski malam telah dilahap
Hidup akan selalu siap

Gelora mulai lelah
Yang punya banyak salah
Karena sudah tak mampu
Duka pun tak dapat disapu

Cucuran sudah menyatu
Pada hari berhembus waktu
Masih punya harapan
Untuk raga masa depan
04/05/12

Perih!

Hari ini…
Kau lukiskan kisah baru
Menghapus duka bersatu
Atas nama cinta kita

Kemarin…
Kau bawa simpul senyum manisku
Senyum yang menjadi milik kita kala
Senyum pertanda dunia terasa kecil
Meski pada akhirnya berakhir derai mata

Hari ini..
Kucoba mengingatnya kembali
Meski senyummu masih melekat
Pertanda kumasih sayang padamu

Separuh jiwaku kau bawa pergi
Kau letakkan di luar hatimu
Mungkin tak boleh masuk lagi
Karena kutahu tak bisa kurangkai lagi…

Kemarin…
Masih ada sapaan manismu
Masih ada belaian mesramu
Meski kau bawa semuanya

Siang, masih ada semuanya
Tak sadarkah engkau?
Malam ini tak berbekas lagi… Perih!
8/10/12


Dilema Cinta

Janjimu dimakan waktu
Egomu menelan asa bersatu
Lewat impian berbalut cinta
Rayuanmu hanya muslihat semata

Memang terasa pedas
Saat kau merasa puas
Melihat jiwaku mengemis
Terukir hati sepi teriris

Jiwaku memoles harapan
Menunggu sebuah jawaban
Semuanya tak berarti
Membuatku harus menanti

Mimpi memeluk jejak
Terbingkai naluri pembajak
Tirai kepalsuan terbuka
Menebarkan cinta terluka
Untukmu, penghuni jiwa kelam ini…
03/03/12

Prolog

Embun menyapa bumi
Mentari tak kunjung menyinari
Pagi menggusurnya pergi
Raga tak terkulai
Saat semuanya dimulai
Di awal pagi ini
04/03/12

Hari Ini

Pagi..
Membentangkan harapan
Meski masih mengantuk
Agar terus berjalan
Hati-hati tak terantuk

Siang..
Separuh raga telah terbang
Nafas yang kian terengah-engah
Meski berbuat yang berbalut karang
Untuk tetap berbagi kisah

Malam..
Terasa beban terasa berat
Masih pula ada yang lupa
Tak ingin ada yang mencegat
Masih ingin esok terus menyapa..
21/03/11

Pilu

Langkah menatap pilu
Mengalun merangkai sendu
Kabut pekat menyelimuti
Sembari memohon peluh
Utopia dibawa pergi
Direbut mimpi sejumput…
02/03/11


Ratapan Kami


Telaga harapan terasa hampa
Ditimba dibawa egoisme semata
Saat dunia tertawa melihat kami
Hati kami tersayat duri
Menorehkan asa yang mulai redup
Mengais suka tak didapat

Bingar terdengar di ujung sana
Melalang menghantui jiwa kami
Menukikkan hati berpoleskan hasrat mati
Ratapan ikut mengerudungi

Tak terdengar sayup bahagia
Maut menunggu kami
Terus menyapa, merayu bersamanya
Entah apa yang terjadi
Saat suara kami dibisukan

Terkulai saat diri merayap
Sendiri..
Berdekut memeluk nyawa gelap
Tertetak sampai mati
Kami mencecit kegelisahan
Merana…
Rona pun terus mengeluh
Mengerang meminta pada Sang Khalik
Akhiri hidup ini saja
Pada batas usia senja!
Tak berguna gelar kami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LELAH MENGADU   Kepada siapa aku mengadu.. Melihatmu merampas lembaran hidup, katamu.. Melihatmu menenteng koper bertuliskan penguasa P...